Cerpen Karangan Hendra Surya PutraKategori Cerpen Pengalaman Pribadi Lolos moderasi pada 24 January 2014 Nama saya Hendra surya putra, tapi biasanya saya dipanggil teman-teman saya Acun. Umur saya 15 tahun, tempat tanggal lahir saya di Gresik, Jawa timur. Saya anak ke-3 dari 3 bersaudara. Saya disuruh guru saya membuat Cerpen cerita pendek saat liburan. Dan cerpen itu bertemakan tentang cita-citaku. Pada saat saya duduk di bangku SD kelas 1 saya memiliki cita-cita menjadi Pilot, tetapi entah mengapa pada saat saya duduk di bangku SD kelas 5/6 cita-cita saya luntur, dan pada kelas 7 dan 8 ketika guru saya menanyakan cita-cita saya. Saya hanya mengikuti teman-teman saya, yaitu menjadi seorang Dokter, tetapi saya baru sadar dan tahu tentang cita-cita saya, yaitu saya ingin menjadi koki/chef dan meneruskan usaha orangtua saya. Dengan begitu saya berharap bisa membanggakan kedua orangtua saya. Dan kemudian saya masuk di Sekolah menengah kejuruan yaitu SMK Katolik Mater Amabilis Surabaya yang berada di Jl. Teratai 2B dekat gelora 10 november. Dan saya mengambil jurusan Jasa boga yang pas dengan passion dan cita-cita saya yaitu ingin menjadi chef/koki. Disini saya mendapat teman yang berbeda-beda sifatnya, ada yang baik, ada yang biasa saja, dan ada yang jahat. Semua itu tergantung kita menilai orang tersebut. Pada saat semester ini saya sudah diajarkan cara mengupas dan memotong buah yang baik, saya juga sudah di ajarkan cara memotong sayuran yang benar. Dan juga telat di ajarkan membuat kue-kue khas Indonesia, di antaranya Kue mata roda dan dadar gulung. Di sini juga ada perkenalan bahan/bumbu, seperti jahe, cabe merah, blimbing wuluh, bawang daun, bawang merah, dan masih banyak lagi. Di sini saya juga dikenalkan peralatan hiding, di antaranya dinner plate, dessert plate, bread and butter plate, compote dish, pudding bowl, rice bowl, cereal bowl, dan masih banyak lagi yang saya tidak sebutkan, dan juga saya diajarkan melipat guest napkin yang benar, dan juga diajarkan melipat 10 napkin lebih dalam waktu 10 menit. Dulu sih awalnya saya tahu sekolah ini dari kakak perempuan saya, karena pada saat dia kuliah dia bertemu dengan teman-teman yang lulus dari SMK Mater amabilis. Tetapi dia tidak tahu tempatnya dimana. Tetapi akhirnya SMK Mater Amabilis datang ke SMPku dan mempromosikan sekolahnya. Saya pun semakin mantap dan langsung membeli formulir pendaftarannya. Kemudian keesokan harinya saya mengembalikan formulir tersebut kepada pihak sekolah dan langsung disuruh ikut test masuk hari sabtunya. Dan pada sabtu saya mengikuti test di SMKK Mater Amabilis dan pada hari senin orangtua saya disuruh ke sekolah untuk membicarakan registrasi. Dan akhirnya saya pun masuk dan bersekolah di SMK Mater Amabilis Surabaya hingga sekarang. Kembali kecita-citaku, sudah saya ceritakan tadi bahwa cita-cita saya adalah menjadi koki dan membanggakan kedua orangtua saya. Saya akan berjuang lebih keras lagi dan belajar lebih tekun lagi. Dengan demikian saya bisa mencapai cita-cita saya, cita-cita saya yang ini memang benar-benar bulat. Disaat saya besar nanti saya akan meneruskan usaha orangtua saya, sebelum itu saya harus belajar menjadi koki yang handal. Setelah lulus SMK ini saya akan kuliah kulineri di Tristar Culinery Institute. Dan setelah lulus kuliah saya akan mengikuti master chef. Dan nanti di rumah makan orangtuaku akan terpajang foto + ijazah atau surat yang menyatakan Hendra surya putra lulus dengan nilai terbaik. Dan juga lulus OJT On the Job Training dengan kehadiran 100%. Dan itu semua cita-citaku. Sekarang saya akan menceritakan masa lalu saya saat berada di SD dan SMP agar cerpen ini menjadi 1000 kata lebih. Pada saaat saya SD saya bersekolah di SD Setia Budhi Gresik, tepatnya di jl. Dr Setia Budhi. Di sana hanya ada 1 kelas dari masing-masing angkatan, misalnya kelas 1 hanya 1 kelas, kelas 2 hanya 1 kelas dan seterusnya. Jujur disana saya bosan karena setiap tahun hanya bertemu dengan teman yang itu-itu saja, dan jika sudah mengenal teman yang itu-itu saja guru-guru pun telah mengenal murid 1 per 1. Begitu juga ketua kelas dan perangkat kelas lainnya, di setiap tahun yang dicalonkan oleh wali kelas adalah murid yang pernah menjadi perangkat kelas sebelumnya, jadi murid yang lain tidak diberi kesempatan untuk menjadi perangkat kelas, dan karena guru-guru telah mengenal murid 1 per 1 guru jadi memilih-milih dan tidak adil, bagi murid yang pintar murid tersebut dan disayang, sedangkan murid yang kurang pandai dikeduakan. Di SD ku dulu juga tidak ada yang namanya OSIS. Begitulah masa SD ku meski 6 tahun di SD tetap saja ceritanya hanya sesingkat itu. Sekarang cerita masa SMP. Pada saat saya SMP saya bersekolah di SMP Angelus custos atau biasa disingkat SMPK AC1. Di sana terdapat 7 kelas dalam 1 tingkatan. Pada awal saya sekolah disana saya tidak mengenal siapa-siapa. Teman-teman SD saya yang masuk AC1 hanya 14 orang. Tetapi untunglah saya masih ada kenalan atau teman SD sebab ada teman 1 kelas ku yang tidak memiliki teman SD 1 pun, jadi seperti diatas awan masih ada awan. Aku masih beruntung dari teman ku itu. Tapi sekarang kita semua berteman. Dan sampai sekarang masih terdapat komunikasi berlanjut. Nah di SMP ku itu sudah terdapat pengurus OSIS sebenarnya saya mau mendaftar masuk OSIS itu, tetapi pada saat itu pelajaran saya kurang sehingga dilarang oleh walikelas, dan akhirnya disuruh memperbaiki nilai agar kelas 8 bisa masuk Osis, tetapi pada kelas 8 nilai saya sudah meningkat tetapi ada sedikit masalah yang menjadikan saya tidak mengikuti seleksi Osis. Hampir setiap hari kita main sepak bola dilapangan pada saat istirahat maupun pulang sekolah. Di sana kami juga makan bersama saat istirahat bermain bersama kembali ke kelas bersama dan melakukan aktivitas yang lain bersama kecuali mandi/buang air. Di kelas 9 saya mendapat teman-teman yang selama kelas 7 dan 8 belum kenal atau hanya kenal saja. Di kelas 9 kita jadi akrab, dan menjadi teman yang baik. Kita makan bersama di kelas bersama pelajaran bersama dan masih banyak lagi. Meskipun di kumpulanku tersebut terdiri dari 3 perempuan dan 3 laki-laki, tetapi kita tetap solid dan menjadi teman bahkan sesudah UNAS, sekarang kami telah berbeda sekolah semua, ada yang di SMK Sinlui, ada yang d SMA Unsur, di SMA Sanmar, ada di SMA Frateran, dan Seminari garum, tetapi kita tetap komunikasi dan ingin bertemu kembali pada saat liburan natal atau lainnya. Seperti sebentar lagi kami ingin bertemu lagi di Bazar frateran yang akan berlangsung di tanggal 16-18 Oktober ini. Kembali ke SMK, sebenarnya saya ingin menjadi pengurus Osis, tetapi entah mengapa saat ada vote berlangsung dan dihentikan dan akhirnya saya tidak terpilih, tetapi ya sudahlah apa mau di kata. Nah akhirnya sudah 1000 kata lebih dikit, saatnya saya untuk berpisah dan semoga yang membaca tidak bosan. Cerpen ini bersifat real dan tidak mengandung unsur humor. Demikian dari saya, maaf bila ada salah tulis atau yang lainnya, sekian terimakasih. Dan maaf juga karena saya bukan penulis novel atau cerita jadi saya tidak bisa menempatkan kalimat-kalimat dengan benar dan akhirnya menjadi alur maju mundur. Cerpen Karangan Hendra Surya Putra Facebook Hendra surya putra Twitter Hendra_Acun Line Hendra-Acun Instagram Hendra_Acun Cerpen Cita Cita Yang Baru Ku Temukan merupakan cerita pendek karangan Hendra Surya Putra, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya. "Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!" Share ke Facebook Twitter WhatsApp " Baca Juga Cerpen Lainnya! " Truntung Oleh Renita Melviany Lelah rasanya pagi ini, harus segara bersiap di jam ternikmat untuk diam di bawah selimut. Terpaksa pergi ke kamar mandi untuk berperang melawan dinginnya suasana pagi. Melewati waktu dengan Hujan, Laut dan Kenangan itu Oleh Nurus Sa'adah Malam yang dingin. Kutengadahkan wajahku ke atas. Menatap langit, sepertinya langit masih berselimut mendung. Teras rumah juga masih basah. Tadi sore hujan turun lagi, sepertinya akhir-akhir ini hujan seringkali Kebahagiaan yang Tak Terduga Oleh Lina Chandra Sari Bismillah… Hari pertama kerja mudah-mudahan tidak mengecawakan bos. Demi anak aku harus bekerja keras sendiri, membesarkannya sendiri. Disinilah tempatku bekerja. Resto Xiaoci Taiwanesse, dimana di tempat ini pula aku Cinta di Dunia Maya Oleh Indah Laras “Although we have never met… but you were able to make me comfortable… I guess I’m fall in love…†Begitu statusku di fb. Namaku Indah, aku adalah seorang gadis Merindukanmu Oleh Anthika Sinar mentari menyinari kamarku. Melalui jendela kamar yang terbuka. Wangi bunga-bunga di halaman yang diselimuti oleh embun pagi, memenuhi kamar mungilku yang juga berhias bunga. Pagi ini begitu cerah. “Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?†"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan loh, bagaimana dengan kamu?"
Sebenernyatema tulisan kali ini random (sama kaya taglinenya) ya, karena kespontanan nulisnya. Seragam putih menebar senyum kebahagiaan. Contoh Karangan Cita Cita Saya Menjadi Doktor / Puisi Cita Kalian boleh membuat judul puisi yang sesuai dengan tema tersebut. Puisi tentang cita citaku menjadi dokter. Semoga dengan adanya kumpulan
Pak Oes oes adalah panggilan akrabnya. Dia sudah menjadi guru sejak dibangku kuliah. Saat mengajar pak Oes juga aktif dalam organisasi mahasiswa yang sering demo dan turun ke Jalan. Pak Oes juga senang sekali belajar filsafat dan sejarah-sejarah. Pernah sekali aku bertanya pada Pak Oes tentang mengapa kegemaranya berfisalat dan membaca buku-buku social terumta sejarah, pak Oes menjawab, “melalui filsafat saya mencoba memahami kuasa tuhan, melalui ilmu social saya mencoba memahami masalah manusia.” Jawaban yang membuat ku berpikir kelas saat itu. Saat itu Saya adalah murid Pak Oes di kelas tiga di salah satu SD pinggiran Jakarta. Dalam mengajar sekali kali Pak Oes melontarkan pertanyaan yang cukup lucu bagi ku dan teman-teman ku. Suatu ketika Pak Oes menanyakan pada kami “anak-anak, disini siapa yang pernahh berpikir kenapa kalian hidup”, tanya pak Oes. Beberapa kawan ku terdiam sejak sebelum Alifah mengangkat tangannya dan berkata, “Saya pernah pak”. “Lalu, apa yang kamu lakukan”, kata Pak Oes. “Karena pusing dan enggak ketemu-ketemu, akhirnya saya lupain aja pertanyaan itu. Emangnya kenapa pak, bapak lagi galau?”. “Enggak hanya memastika kalian punya tujuan hidup” tandasnya. Dia lain waktu pak Oes juga menceritakannya tentang kecerdasan yang mirip kebodohan, dan cita-citanya dimasa kecil. Suatu pagi pak Oes bertanya kepad kami, “Anak-anak, siapa di sini yang punya cita-cita dan apa cita-citanya?”. Sontak kelas menjadi ramai dan bising. Ada yang menyeletuk ingin menjadi pilot, dokter, polisi, tantara dan lain-lain, bahkan ada punya empat cita-cita seperti Ucup. “Pak, saya mau jadi polisi, tapi kalau gak bisa saya mau jadi tantara, kalau gak bisa juga saya jadi guru, dan kalau masih gak bisa juga saya akan menjadi diri sendiri”. Terdiam sejenak Pak Oes, “yang baiknya juga jadi diri sendiri”. “kalian tahu dulu waktu usia saya seumur kalian, apa cita-cita saya?” tanya pak Oes. Sebagian meletuk dengan kecepatan suara, pilot, polisi, tantara, presiden, guru dan lainnya hingga ku lupa, hamper semua teman ku menebak cita-cita Pak Oes. Sambil mendengarkan tebakan teman-teman ku Pak Oes menggelengkan kepala dengan nada khasnya, “eeeemmm, bukan”. Sampai kami sebut profesi yang kami ketahui. “Ini adalah rahasia besar dalam hidup bapak, tapi jangan ada yang beri tahun yang lain, takutnya yang lain nanti ikut-ikutan” raut wajahnya menjadi tegang dan seketika kelas menjadi seyam ingin mendengar perkataan Pak Oes yang mulai memelan. Sambil menuju ketengah Pak Oes mengulangi kata-katanya, “jangan ada yang tahu selain kita bisa?”. Secara reflek teman-teman ku menganggukan kepalanya tanpa disadari menadakan mereka setuju. “Cita-cita saya adalah menjadi power renger merah” kata Pak Oes. Sontak semua kelas tertawa terbahak-bahak, hingga Ferdi kepalannya terbentuk ke mejanya saat itu. “Ya, memang benar saya sampai mengumpulkan jam tangan dan tempat minum yang mirip remot perubah diri power ranger, dan berharap jika saya tekan maka saya akan menajadi renger merah dan punya mobil yang bisa jadi robot” tandas Pak Oes denganwajah seriusnya. Pak Oes juga bercerita, bahwa gurunya pernah terheran-heran pada dirinya. Di suatu pagi kelas yang seperti biasaya, setelah Nadia memimpin barisan dan wulan memeriksa kuku, kami berdoa. Kurang lebih kami menunggu Pak Oes lima menit. Pak Oes mungkin guru yang agak rajin disbanding gur-guru kelas sebelah yang 20 menit setelah kami berlajar mereka baru berdoa. Pak Oes sering bilang pada kami, ketika mendengar keributan di kelas sebelah, “anak-anak jangan kita punya mental anjing herder. Sifat anjing itu penutur, tapi jika ada tuannya. Jika gak ada tuanya mereka menggong-gong semua orang lewat. Kalian disiplin dan rajin jangan karena takut sama saya, jika tak mau selevel dengan anjing herder tadi”. Lanjut kecerita di pagi itu. Banyak teman-teman ku termasuk aku, sangat takut mengungkapkan pendapatnya kepada guru, karena takut dari kesalahan hingga Pak Oes mencerita kisah yang baru di alami. “saya punya teman Namanya Wandi. Temannya saya ini tak lebih pintar dari saya soal pelajaran. Kadang dia suka nanya ke saya. Pada suatu hari di saat pelajaran PKn di kelas dan dosen guru saat ini terkenal galak dan super ribet. Dosen itu memberikan 10 soal pada hari ini dan harus selesai dalam waktu 30 menit. Setelah 30 menit dosen ini memeriksa hasil jawaban para mahasiswa termasuk saya. Setelah di periksa nama saya di panggil kedepan. Oes, apa-apan ini kamu cuma bener satu soal, kamu mikir gak si?’, kata ibu dosen. Mikir bu’, saya menjawab muka saya takut dan panik. Tak lama bu dosen itu kembali berterika Wandi Maju ke depan, apa-apan kamu masa jawaban kamu salah semua’. saya hanya mengamalkan apa yang ibu ajarkan’, balas wandi dengan muka santai. Memang saya ajarkan apa’, bertanya ibu dosen pada Wandi. ibu bilang belajarlah dari kesalahan, maka hari ini saya jawab semua soal dengan salah, agar saya mendapat banyak pelajaran dari ini, ibu juga bilang kalau gak salah gak belajar’, jawab Wandi dengan tenang. Sontak saya dan satu kelas tertawa”, begitu cerita pak Oes untuk memotivasi kami. Kini aku sudah masuk ke salah satu Universitas di Jakarta Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Aku coba ingat-ingat setiap kata dari Pak Oes tentang cita-cita. Pak Oes juga pernah cerita tentang John Lock yang menjadi landasan Pendidikan. Aku mulai menyadari, sesungguhnya cita-cita kita adalah refleksi dari lingkungan tempat kita berada. Setelah mau jadi Power ranger, Pak Oes ingin jadi Tsubatsa, lalu ingin jadi Bajak laut dan lain-lain. Cita-cita itu harus menyenangkan, cita-cita bukan profesi tapi sesuatu yang jauh hingga tak dapat terwujud namun terus kita terwujud. Hakikat cita-cita pak Oes adalah hidup Bahagia, memberantas kejahatan dan menikmati hidup dengan yang kita senangi. Ku dengar Pak Oes sudah diangkat jadi PNS karena lolos tes, semoga kelak aku bertemu dengannya. Kampung rambutan 15 Januari 2020 Halini juga yang dirasakan oleh Muhammad Iqbal Hermawan, wisudawan Universitas Nusa Mandiri (UNM). Dia berhasil menjadi lulusan terbaik dari Program Studi (Prodi) Informatika pada wisuda ke-32 UNM yang berlangsung di gedung BSI Convention Center, Jalan Raya Kaliabang No 8 Perwira, Kaliabang, Bekasi, Jawa Barat pada Rabu (20/7/2022). Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Kisah ini berawal pada masa saya waktu pertama masuk sekolah MTsN Lambalek, waktu pertama kali saya mendaftar di MTsN Lambalek saya bertemu dengan Buk Olivia beliau sangat ramah dan baik hati saya pun sangat mengagumi sosok buk Olivia saya selesai mendaftar kemudian saya duduk sejenak di dekat kantor kepala sekolah lalu tiba-tiba saya di samperin sama buk olivia dengan perasaan sangat bahagia lalu beliau menanyakan kepada saya "Rahmad cita-citanya mau jadi apa?" kemudian sayapun menjawab pertanyaan beliau"Mau jadi orang sukses dan bisa membahagiakan kedua orang tua buk" Lalu beliau tersenyum, buk olivia juga memotivasi saya dan juga bercerita tentang masa lalu perjuangan beliau untuk menjadi orang sukses, pada sejak itulah saya sangat mengagumi beliau bahkan sangat mengidolakan beliau sampai saat sekarang ini. Setelah saya mendengar cerita perjuangan buk olivia saya semakin bersemangat dalam menempuh pendidikan karena saya teringat dengan perkataan buk olivia, "jika kamu ingin sukses maka jangan pernah menyerah dalam menggapai cita-citamu". Lihat Cerpen Selengkapnya| Ο յоտէжኂրуጳ | Ըшаж ռ ы |
|---|---|
| Ожαхр γէ | Вро м |
| Ухዱвሱг хумαкու оዐеգыնадա | Щιρω ሤιճ |
| Ибоբу ኒ | Дар хυռ |
| Зувси твацիզεх | ሁ ሺтևጄևзιፔዢ |
| Уфιኬике խδуտխзιщ | Θвсяγаቅωሰ фецαλ ուሕи |
Cerpen Karangan Hiakri InkaKategori Cerpen Inspiratif, Cerpen Pendidikan, Cerpen Remaja Lolos moderasi pada 16 March 2016 Aku menatap lalu lalang mobil dengan pandangan bingung. Bus yang membawaku pulang ke rumah melaju kencang atau bisa dibilang ugal-ugalan. Jujur, aku bingung. Kejadian di sekolah tadi masih mengganggu pikiranku. Memang bukan kejadian besar tetapi itu membuatku berpikir keras dan berusaha mencari kejelasan atas apa yang aku lakukan. Jadi, tadi sebelum pulang sekolah, guru BK menyuruh anak-anak kelasku untuk menulis satu cita-cita yang PALING ingin diraih. Paling inging diraih? Satu cita-cita? Itulah yang ada di pikiranku hingga sekarang. Satu? Aku punya beribu cita-cita. Jadi wartawan, reporter, penyiar radio, dokter cinta, psikolog, arsitektur, sastrawan, editor, ahli komputer, ustadzah, guru-eh? Guru? Tunggu! Itu kan cita-cita sewaktu aku masih kecil.. Dan sudah lama banget aku nggak kepikiran soal cita-cita itu. Apa ada sesuatu yang ku lupakan? Kenapa dulu aku ingin jadi guru? Apa sih spesialnya jadi guru? Argh… Karena itulah aku bingung.. Kenapa harus menulis satu saja sementara aku punya banyak cita-cita. Karena waktunya juga terbatas, akhirnya aku menulis cita-citaku adalah menjadi seorang guru. Aku menulisnya tanpa alasan. Ada ruang kosong di hati saat menulisnya. Kenapa? Kenapa di lembaran kertas putih itu aku ingin menjadi seorang guru? Apa yang sudah ku lupakan? Kenapa tujuan hidupku seolah berubah dan bercabang? Yang awalnya hanya ingin menjadi seorang guru lalu bercabang dan menjadi banyak cita-cita. Apa yang salah dari diriku? Aku memasuki rumah sambil mengucap salam. Sepertinya aku harus mengorek masa lalu. Kenapa dulu aku ingin menjadi seorang guru. Pasti ada alasannya. Pasti juga ada alasan kenapa cita-citaku jadi banyak seperti itu. Aku membuka kembali diary masa kecilku. Aku baca lembar demi lembar halamannya. Meskipun aku tak menemukan alasan kenapa aku ingin menjadi seorang guru, aku cukup terhibur dengan isi diaryku. Cara penulisannya yang polos, cerita-cerita tidak penting yang aku tulis, terlalu banyak kata lalu’ untuk menyambung suatu cerita, juga tulisanku yang besar-besar dan tidak rapi membuatku bernostalgia sekaligus tertawa dibuatnya. “Lagi apa, Fe?” tanya kakak perempuanku yang bernama Ruri. “Lagi nyari sesuatu,” jawabku seadanya. “Sesuatu? Kok buka-buka buku diary segala,” Kak Ruri terkekeh, “Nyari apa sih? Nyari nama mantan?” ia menyenggol lenganku dengan senyum menggoda. “Mantan? Pacaran aja belum pernah masa nyari nama mantan,” aku menggembungkan pipiku yang cubby. “Nyari apa dong kalau gitu?” tanyanya penasaran. “Nyari alasan.” “Alasan?” Kak Ruri menautkan alis. “Alasan kenapa aku ingin jadi guru.” “Oh…” “Kak Ruri tahu nggak kenapa dulu waktu aku kecil aku ingin banget jadi guru?” “Hm… Gak tahu sih. Mungkin karena suruhan Ayah sama Ibu. Dulu kan Ayah sama Ibu inginnya kamu jadi guru. Gak tahu deh kalau sekarang cita-cita kamu berubah,” Kak Ruri mengangkat bahunya dan disambut helaan napas dariku. “Emang cita-cita kamu selain jadi guru apaan, Fe?” “Ya banyak!” jawabku antusias. “Contohnya?” “Psikolog, penyiar, novelis–” “Coba deh kamu pikir alasan kamu ingin jadi psikolog, penyiar, novelis, pasti ada alasannya, kan?” potong Kak Ruri. “Aku ingin jadi psikolog karena aku ingin memotivasi orang. Aku ingin jadi penyiar karena aku menganggap pekerjaan itu asyik. Aku ingin novelis karena aku suka nulis. Aku ingin jadi guru karena…” “Karena jawaban itu ada pada diri kamu sendiri. Nggak usah dicari, Fe..” potongnya. “Harus dicari, Kakakku tersayang… Ah! Udah ah! Kakak nggak ngasih solusi.. Udah kelas tiga, bentar lagi ujian, masih aja bingung mau ngambil jurusan apa. Karena itu guru BK tanya cita-cita. Huh!” keluhku sebal. “Hahaha… Nggak sulit kok, Fe. Kamu aja yang bikin sulit.” “Kenapa sih… Dulu aku ingin banget jadi guru?” teriakku dengan nada frustrasi. “Haha! Masalah profesi aja bisa bikin kamu stres, Fe!” ledeknya. “Hah…” aku menghela napas panjang, “Harus nyari di google ya, Kak kelebihan jadi seorang guru?” sontak Kak Ruri terbahak-bahak. “Jawaban itu ada pada diri kamu sendiri. Kalau kamu nggak nemuin, cari dong! Tanyakan pada teman-temanmu.. Apa sih kelebihan seorang guru. Kalau menurutmu sendiri gimana?” “Mm… Nggak ada. Guru itu, berangkat, ngajar, pulang. Selesai!” Kak Ruri tertawa terbahak-bahak, “Jangan-jangan kamu mikir pekerjaan Kakak sebagai fotografer cuma foto-foto doang gitu? Pikiranmu pendek sekali, Fe… Udah ah! Cape ngomong sama anak kecil! Mau kuliah kok pikirannya masih kayak gitu!” ledeknya dan aku hanya menggembungkan pipi melihatnya memasuki kamar. — “Kelebihan jadi guru, Fe?” seru sahabatku-Angel sewaktu aku menceritakan cita-citaku tersebut pada ketiga sahabatku. “Menurutku ya, guru itu pekerjaan monoton. Berangkat, ngajar, pulang, nggak ada asyik-asyiknya!” seru sahabatku -Vita. “Gajinya juga dikit, Fe,” tambah Angel, “Gak sebanyak bos-bos di perusahaan,” ia tersenyum menggoda sambil mengaduk jus strawberry-nya. “Tapi menurutku ya, meskipun guru gajinya dikit, tapi dapat banyak pahala,” seru Erin dengan senyum merekah. “Iya sih, tapi kalau ngajarnya kayak Bu Surti malah dapat dosa dong!” seru Vita dan sontak disambut gelak tawa dari kami berempat. “Bu Surti itu kepaksa jadi guru!” tambah Angel. “Ulangan dijadiin PR. Kerjaannya di kelas cuma presentasi, ngerjain LKS. Hahahaha…” tambah Erin. “Hei, dia itu guru kita tahu! Jangan kualat!” seruku di sela-sela tawa. “Asyik juga sih sebenernya. Kita nggak perlu mikir pelajaran. Bu Surti juga murah nilai. Tapi, dia nggak ngasih kita ilmu sama sekali. Layaknya sebuah telur yang nggak ada kuningnya,” ujar Angel. “Yup! Terserah kamu aja sih, Fe kalau mau jadi guru. Kalau bisa kamu harus lebih baik dari Pak Edi. Udah Pak Edi itu ngajarnya enak, nggak banyak PR, murid-murid jadi paham, gak pelit nilai lagi!” seru Erin antusias. “Kalau menurutku ya, nilai itu tergantung pendirian masing-masing guru. Jangan terlalu pelit, jangan terlalu baik. Kalau terlalu pelit, murid bakal benci sama kita. Kalau terlalu baik, murid malah nyepelein kita,” tambah Vita. “Kamu kan udah jadi murid nih, harusnya kalau mau jadi guru, kamu tahu kriteria seperti apa guru yang baik,” tambah Erin. “Hm! Teman-teman, kembali ke pertanyaan awalku. Apa sih kelebihan jadi guru?” tanyaku karena tak menemukan jawaban dari pertanyaanku tadi. “Kalau bagiku yang menuntut hidup banyak materi di dunia, guru itu banyak kekurangan,” Angel mengaduk jus strawberry-nya, “Gajinya dikit. Gak sebanyak jadi pengusaha. And… Mm.. Kelebihannya ya itu, banyak pahala.” “Kekurangan jadi guru itu.. Menurutku loh ya, pekerjaannya monoton. Tapi pekerjaan monoton itu tergantung cara kita menyikapinya. Kalau kita have fun jadi guru, ya udah jalanin aja. Kelebihannya, seperti yang Angel bilang, banyak pahala! Ingat nggak tiga perkara yang ditinggalkan sesudah mati? Ilmu yang bermanfaat. So, jadi guru pahalanya terus mengalir,” kata Vita. “Semua pekerjaan ada kekurangan sama kelebihannya, Fe. Tergantung cara kita memandang kekurangan dan kelebihan itu. Jadi guru banyak kok kelebihannya. Gak semonoton yang Vita bilang. Kita bisa bertemu murid-murid yang menghormati kita yang berbeda tiap tahunnya, dapat pahala, gajinya juga standar biar kita nggak jadi manusia yang tamak, dan kita bisa meluangkan banyak waktu buat keluarga,” ujar Erin dengan senyum lembut, “Oh ya, saranku kalau kamu jadi guru, please ubah karakter bangsa ini. Waktu sekolah aja mereka udah nyontek, nyari bocoran, apalagi nanti kalau mereka kerja, bisa korupsi tahu! Mereka itu sama aja udah nganggap Tuhan nggak ada. Mereka sama sekali nggak takut sama Tuhan.” “Tapi, Rin, otakku pas-pasan.. Nggak kayak kamu..” elak Angel. “Angel, bukan masalah otak. Masalah letak kejujuran dalam hatimu. Anak Indonesia tuh pembohong semua tahu nggak?! Bangsa ini akan hancur kalau tunas-tunas mudanya adalah seorang pembohong! Karena itu kadang aku mikir, buat apa sekolah kalau cuma nambah dosa doang. Sekolah itu kayak nuntut kita buat ngelakuin dosa! Temen-temen lain, ngepek, dapat nilai bagus. Aku yang jujur dapat nilai jelek malah dimarahin gurunya. Guru macam apa itu? Malah membela yang salah. Gurunya aja udah hancur. Muridnya tambah hancur,” seru Erin tak mau kalah. “Sabar, Rin,” aku berusaha menenangkan Erin. “Aku salut sama kamu, Rin. Kamu berani mengambil resiko dengan kejujuran. Aku nggak bisa jadi seperti kamu. Aku selalu ngikutin hawa nafsu dan perkataan temen-temen. Bagaimanapun juga nilai bagus adalah targetku entah pake cara apa. Aku bangga sama kamu. Aku senang Indonesia punya orang kayak kamu,” sahut Vita antusias. “Guru yang harusnya bisa membentuk karakter murid malah memperparah muridnya sendiri,” kataku lebih pada diriku sendiri yang ingin menjadi seorang guru. “Tapi, udah dibilangin kayak gitu aku nggak akan berhenti nyontek. Nanti nilaiku turun lagi. Nanti orangtuaku kecewa,” sela Angel dengan wajah innocent. “Tuh kan! Lebih mentingin duniawi! Orangtuamu bakal lebih kecewa kalau itu nilai yang kamu dapat hasil ngepek, nyontek!” seru Erin kesal. “Emang kamu nggak mikir, orangtuamu bakal bangga gitu kalau kamu nunjukin nilai-nilai jelek terus kamu bilang Aku ini jujur loh…’ Hah.. orangtuamu nggak bakal bangga sama tuh nilai! orangtua tuh cuma peduli hasil akhirnya! Nggak peduli prosesnya kayak gimana!” “Ya iya.. Karena itu aku belajar.. Buat nggak nambahin dosa-dosaku.” “Itu riya’ tahu nggak?! Pamer! Sok alim!” “Hei!” seruku dan Vita menghentikan perdebatan dua insan ini. “Angel, Erin, udah. Susah nyatuin pendirian yang sama-sama kuat!” seruku menengahi mereka. Angel menghela napas kesal, “Fe, kalau kamu jadi guru, ngajarin yang bener sampai muridmu bener-bener paham! Jangan sampe mereka nyontek ataupun ngepek!” seru Angel, “Aku nggak mau keturunanku lebih buruk dari aku.” “Fe, bilangin juga sama murid-muridmu nanti, kalu ulangan sejarah sama Pkn jangan ngepek! Otak manusia tuh hebat! Dipergunain tuh buat menghafal! Manusia tuh bisa menghafal satu buku sekaligus! Cuma, manusianya aja yang males!” seru Erin tak mau kalah. “Fe! kalau jadi guru jangan yang galak ya! Hehe…” kata Vita dengan senyum merekah. “Hm! Pasti! Aku bakal jadi guru yang baik agar bangsa Indonesia bisa berubah,” aku mengangguk mantap. Tunas-tunas muda bangsa Indonesia, aku akan menunjukkanmu jalan yang benar agar Indonesia tak terpuruk lagi seperti ini.. — Dear Diary, Tadi ada sebuah kejadian besar di hidupku. Entah kenapa aku mendapat alasan kenapa dulu aku ingin menjadi seorang guru. Hm.. Aku ingat, Dear secara tiba-tiba. Berangkat, ngajar, pulang, yang Vita bilang monoton sebenarnya itu adalah hal yang simple, nggak ribet. Jadi aku punya banyak waktu luang buat keluarga atau ngelakuin hal-hal bermanfaat lainnya. Gaji dikit yang Angel bilang, itu adalah sebuah kesederhanaan yang aku impikan sejak kecil agar tak menjadi manusia tamak yang melupakan Tuhan. Aku juga ingin mengamalkan ilmu yang telah ku terima, membagi pengalamanku, dan mengajari murid-muridku tentang Islam. Lewat profesi guru, aku bisa berdakwah. Pelan-pelan, ku ubah anak Indonesia ke jalan yang lebih baik. Seperti yang Erin bilang. Sekolah itu bukan untuk menambah dosa tetapi menuntut ilmu agar mendapat pahala dan bisa mengamalkannya. Aku juga ingin membangun karakter bangsa Indonesia. Kejujuran. Itulah kunci utama. Aku harus menciptakan cara supaya murid-muridku menjadi manusia yang jujur. Tidak urakan lalu mencari bocoran ke mana-mana. Jujur dan percaya akan diri sendiri namun tidak melupakan Allah SWT. Seperti yang Vita bilang, tiga perkara yang kita tinggalkan saat meninggal dunia yaitu ilmu yang bermanfaat. Aku yakin ilmuku pasti mengalir, diamalkan, dan akan memberikan pahala di setiap alirannya. Aku juga tidak mau menjadi guru seperti Bu Narti yang disepelekan oleh murid-muridnya. Aku ingin membuat murid-muridku benar-benar paham apa yang aku sampaikan. Membuat mereka paham, percaya diri untuk bertanya, tertawa oleh lelucon-leluconku, tidak tengok kanan-kiri-bawah saat ulangan, mendapat hasil sesuai usaha dan doa. Memang sih kalau anak Indonesia bisa menjadi seperti itu mungkin Indonesia bisa menjadi negara maju. Tetapi aku tahu, semua itu butuh usaha dan doa. Karena itu, aku akan menyusun strategi mulai sekarang, belajar dengan giat, selalu berdoa agar diberi kemudahan, and do the best for all. Belajar jadi Ibu yang baik dari mengajar, meningkatkan mutu pendidikan Indonesia yang kian terpuruk, memberi motivasi untuk membangun karakter bangsa ke arah yang lebih baik, jadikan bangsa Indonesia bangsa yang jujur! Dear, sepertiga hari yang dihabiskan anak-anak adalah di sekolah. Jadi intinya sekolah itu untuk membangun karakter mereka selain ajaran orangtua. Jadi guru yang baik untuk anak-anak bangsa! Fe bisa! Fe fight! Fight! Fight! Fight! Jangan cabangkan cita-citamu lagi! Jangan jadi bocah ababil! Dewasalah! Bentar lagi mau kuliah! Nggak boleh kayak anak kecil! Yosh! Fight! Be the best teacher for Indonesian! Yahu! Guru, itulah cita-citaku! Fe. — “Udah nemuin alasan jadi guru?” goda Kak Ruri. “Udah dong!” seruku antusias. “Aaapa?” tanyanya penasaran. “Rahasia… Mau tahu? Kalau alasan Kak Ruri jadi fotografer apa?” Kak Ruri terkekeh, “Mau tahu aja, apa mau tahu banget? Yang pasti itu rahasia!” “Gitu kan! Pelit!” “Ye! Biarin! Kalau alasan cita-citamu jadi banyak kayak gitu apa, Fe?” “Hm… Aku ababil…” jawabku malu-malu kucing. “Namanya juga ABG.. Tahap-tahap keababilan biasalah! Yang penting kamu jangan sampai salah pilih jalan.” “Siiiap! Aku nggak akan salah pilih lagi, Kakak!” kita berdua tertawa bersama. Udah tahu kan asyiknya jadi seorang guru? It’s so fun and amazing career! Dan.. Guru adalah pahlawan. Pahlawan tanpa tanda jasa. SELESAI Cerpen Karangan Hiakri Inka Facebook Cerpen Aku Dan Cita Cita Ku merupakan cerita pendek karangan Hiakri Inka, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya. "Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!" Share ke Facebook Twitter WhatsApp " Baca Juga Cerpen Lainnya! " Love 1 Month Part 2 Oleh Wigi Tya Pernah suatu ketika saat aku makan bareng bersama Lia dan Nikma di kantin sekolah. Nikma menanyakan satu hal yang sering dia tanyakan padaku, dan bahkan dia juga menanyakannya pada Bukan Patah Hati Oleh Fadel Akbar, SMPN 1 Puri Ini Sebuah kisahku ketika duduk di bangku kelas 8 SMP, Masih berumur 14 tahun kira kira 4 bulan yang lalu. Salah satu organisasi Di SMPN 1 Puri adalah Dewan Serunya Berkemah Oleh Ghina Syakila Sore itu, sangat panas. “Vio, masang pasaknya tuh begini,” ucap Kayla memperagakan memasang pasak tenda. Siang ini hingga besok sore, mereka akan berada di bumi perkemahan SMPN Jati Nusa Aku Bukan Diriku Lagi Part 1 Oleh Elisma Br. Hutabarat Seorang gadis dengan angkuhnya berjalan di tengah koridor sekolah yang bertaraf internasional. Semua mata menatap ke arahnya. Ada yang memujinya karena kecantikan wajahnya dan tatapannya yang sangat tajam. Dan Alasan Sederhana Oleh Edwin Bayu Aji Jr Semua berawal ketika aku diajak untuk menghadiri salah satu acara ulang tahun teman sekalasku, Ika. Aku merasa terkejut ketika Ika mengundangku ke acara ulang tahunnya, bagaimana tidak? Aku dan “Hai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?†"Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan loh, bagaimana dengan kamu?"
SiswaGuru Sekolah. Kumpulan Soal Siswa. MENU Beranda; Siswa; Homepage / Siswa / Cerita tentang cita-cita ingin menjadi pramugari dan membahagikan orang tua. Cerita tentang cita-cita ingin menjadi pramugari dan membahagikan orang tua Oleh Admin Diposting pada Juni 22, 2022. Pertanyaan :
By DiyantiDimas namanya, seorang anak yang berumur 10 tahun, memiliki empat orang kakak dan dibesarkan oleh kedua orang tua dengan keadaan yang sederhana. Ayahnya bekerja sebagai buruh bangunan, sedangkan ibunya hanya ibu rumah tangga yang mengurusi kelima keadaan ekonomi yang kurang mampu ayahnya tetap bertekat untuk menyekolahkan semua anaknya, minimal bisa lulus sendiri masih duduk di kelas lima SD, kakak pertama dan keduanya sudah bekerja di pabrik, sedangkan kakak ketiganya duduk di bangku SMA sebentar lagi lulus, lalu kakak keempatnya masih kelas delapan kecil, Dimas diajarkan untuk berhemat, rajin belajar supaya lulus dengan nilai yang memuaskan dan mendapatkan pekerjaan lumayan layak seperti kedua kakaknya. Setidaknya kedua kakaknya bekerja di pabrik bukan buruh bangunan seperti ayahnya. Sehingga bisa membantu perekonomian Dimas agak berbeda dengan keempat saudaranya. Pada usia dua tahun saja ia sudah bisa berbicara lancar. Pada usia empat tahun sudah banyak kosakata yang Dimas pahami. Dan ketika baru sekolah di kelas satu SD, Dimas sudah bisa membaca tanpa memang anak yang pintar, dia cepat memahami apa yang diajarkan oleh guru, orang tua, saudara-saudaranya, teman-teman maupun orang-orang di lingkungan sekitar. Sering kali ia bertanya apapun yang belum ia pahami. Contohnya ketika Dimas berumur lima tahun, ia bertanya setelah melihat ayahnya menyelesaikan sholat.“Tuhan itu seperti apa? Apa waktu sholat, Ayah lihat Tuhan?”Mendapatkan pertanyaan demikian, sang Ayah pun kelimpungan menjawab. Ibunya juga takut menjawab, takut salah, sedangkan keempat saudaranya juga tidak tau jawaban yang tepat. Pada akhirnya Ayah mengajak Dimas untuk bertemu dengan guru ngaji yang berjarak beberapa meter dari rumah sang guru ngaji bisa menjawab pertanyaan bocah lima tahun tersebut, walau Dimas terus-terusan bertanya yang belum ia pahami. Sejak itulah Dimas mulai belajar mengaji. Dia belajar huruf Arab dan cara membacanya jika di sambung-sambungkan. Dimas juga belajar tata cara sholat, doa-doa dan pengetahuan lainnya tentang agama, Dimas pun belajar ilmu umum di sekolah. Ia belajar matematika, belajar sejarah Indonesia dan belajar ilmu pengetahuan lainnya. Dan dari sekolah itulah Dimas tau tentang itu Dimas masih kelas satu, harus maju satu persatu untuk memperkenalkan diri. Tiba giliran Dimas, ia pun maju ke depan dan menghadap teman-temannya. Seragam yang ia kenakan tidak baru seperti teman-temannya, ia hanya memakai seragam SD milik kakak keempatnya yang menurut Ibu masih bagus Bu Guru mempersilahkan Dimas memulai perkenalan. Ketika itu, Dimas merasa senang sekali bersekolah, jadi ia tidak takut maupun malu untuk maju ke depan dan memperkenalkan diri.“Dimas, cita-citanya mau jadi apa?” tanya Bu Guru setelah Dimas menyelesaikan cerita mengenai kakak-kakaknya.“Cita-cita itu apa Bu Guru?” tanya balik Dimas dengan Guru kemudian menjelaskan, cita-cita adalah impian. Impian bukan mimpi saat tidur, namun impian kerja jadi apa saat dewasa. Itulah yang Dimas pahami saat itu. Dan karena itulah Dimas diam tidak menjawab.“Jadi Dimas cita-citanya jadi apa?” tanya ulang Bu Guru. “Mau jadi dokter, guru, polisi, tentara atau yang lainnya?”Dimas tetap diam. Ayahnya bekerja sebagai buruh bangunan, berarti cita-cita Ayahnya waktu kecil adalah menjadi buruh, lalu Ibunya tidak bekerja, berarti Ibu tidak mempunyai cita-cita. Tapi teman-teman yang lain banyak yang menjawab ingin menjadi dokter, berarti nanti ketika besar teman-temannya banyak yang menjadi dokter, berarti dokter jadi banyak sekali.“Dimas?” panggil Bu pun langsung menggelengkan kepalanya, dia menatap gurunya dengan bingung. “Aku cita-citanya nggak tau jadi apa, Bu Guru. Aku nggak mau jadi ayah kerjanya buruh bangunan, aku juga nggak mau seperti ibu yang nggak kerja, aku juga nggak mau jadi dokter, teman-teman banyak yang ingin jadi dokter.”“Kalau menjadi guru?” tanya Bu Guru memberi opsi kepada Dimas. “Guru tugasnya mengajar, nah karena ada guru lah jadi ada dokter, tentara, polisi.” Bu Guru tetap menjelaskan pelan-pelan.“Bu guru dulu kecilnya cita-citanya jadi guru?” Dimas malah balik bertanya. “Memang kalau aku bilang cita-citanya jadi guru, nanti besarnya pasti jadi guru ya Bu Guru?”Bu Guru saat itu langsung paham, jika Dimas merupakan anak yang cerdas. Ia pun memberi penjelasan dengan pelan-pelan dan dengan kata-kata yang mudah dipahami. Bahwasannya cita-cita adalah impian yang ingin diraih. Ingin berarti belum pasti namun diusahakan untuk diwujudkan. Jadi belum tentu Ayahnya dulu bercita-cita menjadi buruh bangunan. Sedangkan Bu Guru bilang jika cita-citanya saat kecil adalah menjadi guru, namun Bu Guru memberitau bahwa ketika besar atau dewasa banyak sekali masalah atau rintangan yang menghadang untuk mewujudkan cita-cita. Rintangan yang menghadang, contohnya tidak punya uang, berhenti sekolah dan banyak lagi. Bu Guru bilang bahwa Dimas akan memahaminya nanti, jadi Dimas tidak banyak bertanya walau kurang paham pada saat itu. Bu Guru bilang kalau dia akan memahaminya nanti. Nanti berarti Dimas pasti akan sekarang Dimas sudah berusia 10 tahun. Ia sudah lebih banyak mempelajari suatu hal. Misalkan tentang agama, Dimas sudah lancar mengaji dan pernah khatam sekali. Dia juga semakin tau apa itu pahala dan dosa. Sedangkan di sekolah, Dimas menjadi siswa terpintar di kelasnya. Ia selalu menduduki peringkat pertama mengungguli teman-temannya yang itu Dimas juga mulai paham tentang cita-cita. Ia bertekat ingin menjadi orang yang sukses, entah dalam pekerjaan apa Dimas belum bisa menentukan. Orang yang sukses berarti harus bisa sekolah dan banyak Dimas juga mulai memahami mengenai masalah dan rintangan yang menghadang seperti yang dikatakan Bu Guru beberapa tahun yang lalu. Pengalaman dan keadaan menghantarkan Dimas untuk tau masalah atau rintangan yang menghadang.“Keadaan sekarang semakin sulit, Ayah sudah tidak bekerja lagi sedangkan Santi sudah di pecat, tinggal Bima yang diandalkan, gimana kita bisa bayar uang sekolah Deni, Evi sama Dimas?” Ibu mengeluh di ruang tamu, di depan sang Ayah yang tampak frustasi dengan keadaan yang semakin berpikir jika anak-anaknya sudah tertidur, namun nyatanya Dimas sedang berdiri di balik tembok, awalnya tidak sengaja mendengar pembicaraan kedua orang tuanya.“Nanti pasti bisa melunasi uang sekolah anak-anak.” Ayah berkata. Cara untuk menghibur diri dari himpitan kesusahan, selalu percaya bahwa hari esok akan baik-baik saja.“Uang dari mana?” Ibu bertanya terdiam di tempatnya. Apakah dia akan putus sekolah dan tidak bisa mewujudkan cita-citanya yang ingin menjadi orang sukses? Anak usia 10 tahun itu termenung di tempatnya berdiri. Ibu sedang menangis, terisak pilu. Ayah memegang kepalanya terasa pusing. Lalu Dimas?Anak itu sedang berpikir keras untuk mengorek kembali ingatan tentang ucapan guru ngajinya.“Tuhan akan selalu menolong hamba-Nya yang sedang kesusahan.”Benar. Itulah yang diperlukan Dimas sekarang, yaitu berkeluh kesah kepada Tuhan. Pasti Tuhan akan mendengar dan akan segera menolong keadaan pelik yang menimpa mereka.[Tamat]
CerpenCita Cita Menjadi Arsitek - Tugas Cerpen Xii Cita Cita : Kita cerita tentang hari ini atau nkcthi di kawasan epicentrum, .. Hasil karya kumpulan arsitek indonesia ini Dalam serial yang diangkat dari novel nanti kita cerita tentang. Asal tari, dan cerita tentang tari pilihanmu. Menjadi arsitek yang merancang stadion liverpool yang .